Climate change yang disebabkan oleh global warming akan sangat berdampak bagi kehidupan banyak orang. Untuk memperlambat perubahan iklim, negara-negara dunia melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) melakukan konferensi dan menandatangani Paris Agreement pada tahun 2015 dan Conference of the Parties (COP) 26 Glasgow pada tahun 2021. Secara umum, kedua konferensi tersebut berkomitmen untuk mempertahankan suhu global dibawah 2℃ atau idealnya maksimal 1,5℃ dan mengurangi angka emisi gas rumah kaca. Salah satu langkah untuk mengurangi angka emisi karbon adalah penerapan carbon tax. 

Lalu apa sih carbon tax itu?

Carbon tax merupakan pajak yang harus kita bayarkan ke pemerintah atas sejumlah emisi karbon yang dikeluarkan oleh subjek pajak, baik oleh individu, badan atau perusahaan tergantung kebijakan negara masing-masing yang dihitung dalam satuan per ton karbon yang diemisikan dengan tujuan dapat menekan emisi karbon ke atmosfer dan dapat mengendalikan perubahan iklim. Namun, terdapat dilema dibalik intensi penerapan carbon tax. Di satu sisi, pemberlakuan carbon tax akan mengurangi emisi dengan cukup efektif. Di sisi lain, harga karbon yang tinggi akan membuat kenaikan harga produksi dan bahan bakar yang tentunya akan menyulitkan masyarakat dengan kondisi ekonomi yang kurang beruntung. 

Dengan serangkaian dilema di atas, adakah solusi yang dapat ditawarkan?

Pemerintah Perancis menyusun undang-undang sebagai bentuk kompensasi untuk rumah tangga berpenghasilan rendah berupa chèques énergie atau cek energi yang kemudian direalisasikan pada tahun 2020. Cek energi adalah bantuan pembayaran pengeluaran energi yang diberikan oleh pemerintah perancis yang dapat digunakan untuk membayar tagihan energi seperti listrik, gas alam, biomassa, atau bahan bakar lain untuk pemanasan dan produksi air panas.

Berbeda dengan Perancis, pemerintah Australia memilih cara lain yaitu dengan menyiapkan dana sebesar US$ 1 miliar atau setara dengan 10,5 triliun rupiah untuk diinvestasikan kepada perusahaan-perusahaan guna mengembangkan teknologi rendah emisi seperti stasiun pengisian bahan bakar hidrogen. Selain itu, Australia juga berencana memaksimalkan penggunaan biofuel dan menerapkan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) guna menekan emisi di negara tersebut.

Indonesia sebagai salah satu negara yang punya komitmen di COP 26 Glasgow rupanya baru punya rencana menerapkan carbon tax terbatas pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTP) mulai 1 April 2022 dengan besaran tarif sebesar US$ 2,14 per ton karbon. 

Kalau kita lihat beberapa konsekuensi ataupun dilema yang timbul di beberapa negara sebelumnya, menurut kalian apa yang harus dipersiapkan oleh negara kita ya untuk mengatasinya ? 

Pelajari lebih lengkap disini.